Monday, June 30, 2008

LoveFirst Ministry - 2/2

December 19, 2004 [23.38]
Saya baru saja membaca kembali tulisan saya di atas, dan menggumulkan sebuah bentuk pelayanan yang fokus untuk LoveFirst karena memang konsep di atas masih belum memiliki bayangan pelayanan yang jelas mengenai bagaimana bentuk pelayanan ini.

Seharian ini saya terus memikirkan bentuk LoveFirst. Sejak pagi hari tadi terbangun, saya berdoa, “Tuhan Yesus, tolonglah saya dapat menunjukkan kasih yang nyata hari ini sebagai anak Tuhan.” Sesampainya di gereja, saya sulit berkonsentrasi mendengarkan khotbah (tentu ini bukan hal baik yang patut ditiru). Pikiran saya dipenuhi pemikiran mengenai bentuk pelayanan apa yang LoveFirst harus kerjakan? Sebagai yayasan sosial, pusat pelayanan konseling, atau membentuk sebuah gereja baru?

Saya ingin melayani seluas-luasnya. Saya ingin dapat membantu masyarakat dalam bidang sosial. Saya memikirkan juga pentingnya pusat pelayanan konseling bagi sebuah kota. Saya ingin melayani semua orang dengan kasih dan penerimaan yang tulus—apapun kasus dan masalahnya. Namun, saya tersadar bahwa adalah tidak mungkin mengerjakan semuanya sekaligus.

Saya mengingat kembali awal pemikiran saya—mengapa saya ingin membentuk sebuah pelayanan yang mengutamakan tindakan kasih adalah karena kekecewaan saya terhadap gereja. Kekecewaan saya terhadap ketakutan, birokrasi, kurangnya iman dalam hal kebutuhan finansial, dan kurangnya komitmen para penatua gereja dalam pelayanan. Masalahnya justru ada di dalam gereja itu sendiri. Masalah sebenarnya bukanlah soal ketidaktersediaan dana, tetapi lebih pada kurangnya iman bahwa Tuhan sanggup memberikan yang dibutuhkan umatNya dalam pelayanan.

Jika LoveFirst dibangun sebagai sebuah pelayanan parachurch, bagaimana caranya orang yang membutuhkan bantuan dapat mencari LoveFirst? Kebanyakan orang umumnya mencari gereja untuk mendapatkan pelayanan dan dukungan.

Jika LoveFirst dibangun sebagai parachurch, akan sulit juga mengembalikan orang-orang yang telah dilayani kepada gereja asalnya. Lagipula, bukankah LoveFirst juga tetap memiliki sasaran utama untuk membawa setiap orang dapat hidup “to glorify God and to enjoy Him forever”—yang berarti penginjilan bagi mereka yang belum percaya. Jika LoveFirst hanya parachurch, kemanakah jemaat baru tersebut akan dirujuk untuk berjemaat?

Jika LoveFirst bukan didirikan sebagai gereja, bagaimana dapat melayani beberapa hal yang tentu harus dilakukan dalam sebuah lembaga gereja? Katakan saja, jika ada pasangan yang tidak diterima menikah di gereja (asalnya) karena telah hamil, bagaimana LoveFirst dapat menikahkan pasangan tersebut tanpa status gereja?

Sebaliknya…
Jika LoveFirst didirikan sebagai gereja, bagaimana ia dapat melayani orang yang belum percaya?
Jika LoveFirst dikenal sebagai gereja baru, tidakkah ia dapat menjadi batu sandungan bagi pertumbuhan gereja yang telah lebih dulu established?

Memang sedikit membingungkan memikirkan mengenai “bentuk” LoveFirst—between church or parachurch. Namun, saya pikir disinilah point penting yang perlu diperhatikan. Saya yakin bahwa LoveFirst harus dibangun dengan kedua konsep ini secara pararel; memiliki dua sifat yang melengkapi dari church dan parachurch. Sederhananya, LoveFirst harus didirikan sebagai gereja, dan sekaligus memiliki sekretariat “di luar” gereja yang dapat menjadi wilayah netral bagi mereka yang membutuhkan.

Mengapa harus membangun sebuah gereja yang baru?
Karena sebagaimana yang telah dibahas selama satu semester dalam kelas Pertumbuhan Gereja Dr. Albert Konaniah yang pernah saya ikuti: adalah sangat sulit untuk mengubah sistem sebuah gereja (tradisional) yang telah lama berdiri.LoveFirst harus melayani dengan dua fungsi yang saling melengkapi ini. Mereka yang membutuhkan dukungan dari gereja dapat mencari LoveFirst Church; mereka yang belum percaya dan membutuhkan dukungan/bantuan dapat menghubungi LoveFirst Care Center. Mereka yang dilayani dalam care center akan dilayani dalam terang firman Tuhan berdasarkan Alkitab. Perlahan-lahan mereka dipimpin untuk menyerahkan hidupnya pada Tuhan Yesus—dan dilibatkan dalam gereja. Dengan demikian dua fungsi ini perlahan harus dibangun berkesinambungan.
New Concept of Church [?]

Hari ini… tiba-tiba saya memikirkan satu hal yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya: Tuhan Yesus, apakah saya harus membangun sebuah komunita gereja baru dari nol? Bapa, apakah Engkau ingin saya keluar dari wilayah nyaman saya selama ini? Saat ini… seketika saya tahu apa yang harus saya doakan malam ini.. “menjadi seorang church-planter?”

LoveFirst Ministry - 1/2

Tulisan ini merupakan rentetan pemikiran saya akan sejatinya sebuah gereja seharusnya menjadi. Semuanya bermula dari sebuah kekecewaan saya akan institusi gereja. Sepasang kekasih yang ternyata hamil di luar nikah mengharapkan gereja dapat membantu menikahkan mereka. Namun, kebijakan gereja adalah mereka tidak dapat diberkati di gereja karena [1] keduanya bukan merupakan anggota jemaat “resmi” dan [2] karena mereka telah melanggar kekudusan Allah dengan perbuatan seks di luar nikah yang mereka lakukan. Kenyataannya, saya termasuk orang yang menyetujui kebijakan ini—sebelumnya. Namun, sebuah rasa yang berbeda tiba-tiba menggelitik benak sewaktu sebuah pertanyaan (entah darimana) muncul, “Jika kedua pasangan ini meminta bantuan kepada Tuhan Yesus, apa yang akan Tuhan Yesus lakukan? Mungkinkah Tuhan Yesus menolak mereka karena dosa mereka?”

Bang! Sebuah palu rasanya dipukulkan di kepala saya.

Dan sejak saat itu saya terus memikirkan sebuah bentuk pelayanan “ideal” yang lebih sesuai dengan hati Tuhan. Mungkin, terdengar sedikit angkuh karena seolah-olah menilai banyak institusi gereja yang selama ini ada tidak sesuai dengan hati Tuhan. Tetapi… saya hanya ingin memikirkan sebuah pelayanan yang lebih baik. Saya tidak bermaksud mendiskreditkan gereja mana pun dengan pemikiran ini.

December 19th, 2004 [01.34]
Mengapa LoveFirst?
Saat ini terlalu banyak gereja yang lebih memusingkan masalah finansial dan birokrasi daripada melakukan kasih. “Kita tidak mungkin membantu perempuan tua yang tidak jelas asalnya itu karena jemaat kita sendiri banyak yang membutuhkan” atau, “Janganlah membagikan nasi bungkus di jalanan, nanti akan ada banyak orang yang datang ke gereja kita untuk meminta-minta terus. Kalau tidak dapat mereka mungkin saja melempari dan membakar gereja.”

Terlalu banyak khotbah mengenai kasih yang telah dibagikan namun gereja-gereja Tuhan telah kehilangan orientasi untuk melakukan kasih. Secara jujur, saya sendiri banyak mengkhotbahkan mengenai kasih, namun saya tidak terlalu yakin bahwa saya sudah melakukan banyak kasih sebagaimana yang sepatutnya saya berikan.

Konsep kasih dapat dikatakan merupakan dasar keberadaan orang percaya, dasar kebangunan gereja, dan dasar kebangunan kebenaran Allah; namun, kebanyakan gereja telah berhenti pada sekadar konsep—kurang mengaplikasikannya dalam keseharian.

Kebanyakan gereja pada akhirnya lebih berfokus pada program yang diupayakan mengakomodasi semua harapan sebagian orang (majelis, pengurus, ambisi hamba Tuhan); dan dengan demikian, sadar-tidak-sadar mengenyampingkan tindakan kasih yang nyata bagi pribadi-pribadi (anggota jemaat dan juga mereka yang belum percaya).

Beberapa gereja terlalu menekankan pentingnya doktrin gereja yang dianggap paling “sempurna-benar’” dan kehilangan implementasi nilai kebenaran gereja yang real.

Beberapa gereja sangat menekankan kekudusan dan menolak memberikan pengampunan dan penggembalaan khusus bagi jemaat yang memiliki dosa yang kebetulan nampak “di permukaan.” Katakan saja mengenai masalah pernikahan yang diadakan bagi mereka yang terjebak hamil di luar nikah.

LoveFirst—daripada memikirkan apa, bagaimana, kapan, di mana, siapa yang ditolong, mengapa harus menolong; lakukan dan wujudnyatakan saja kasih seketika bagi mereka yang membutuhkan. LoveFirst—utamakan kasih; melakukan kasih sebagai yang tujuan pelayanan umat Tuhan yang utama. LoveFirst—kasih lebih dulu. Sebab… kasih selalu benar!

“Mengapa gurumu makan bersama dengan pemungut cukai dan pendosa?” Yesus mendengarnya dan berkata, “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.”—Matius 9:11-13; Markus 2:17; Lukas 5:32, “…Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa supaya mereka bertobat.”

“Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku… Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”—Matius 25:35-36,40.

Saya berusia 24 tahun, fresh graduate dari sebuah seminari yang melatih dan mengajar saya banyak hal tentang kebenaran firman Tuhan. Saya penuh dengan impian. Namun kebanyakan impian pelayanan saya belakangan kandas dalam gereja yang saya layani; home-church saya sendiri. Beberapa menganggap saya sebagai hamba Tuhan yang idealis—masih terlalu muda, belum berpengalaman, belum berhadapan dengan banyak orang. Dan saya pun mulai bertanya kepada Tuhan, apakah saya terlalu idealis? Ya, saya sempat down dan merasa benarlah bahwa saya terlalu idealis dan harus menahan diri.

Namun tidak bertahan lama, pertanyaan yang selanjutnya menjadi pergumulan saya adalah,
Tuhan, bagaimana keteladanan kasih yang Tuhan ajarkan bagi gereja Tuhan seharusnya?
Apakah kasih yang ideal itu memang perlu direduksi dengan banyak alasan logis-rasional?
Tidakkah kasih sesungguhnya kasih yang Tuhan teladankan itu sebenarnya idealis juga?
Apakah kasih dapat disebut sebagai kasih jika masih memiliki alasan untuk “menahan” kasih?
Apakah kami yang disebut sebagai ahli waris Tuhan layak mereduksi nilai ideal kasih dalam hidup kami?

Doa saya pada akhirnya…
“Tuhan, tolonglah saya menjadi agen kasih Tuhan yang lebih baik bagi dunia ini—bagi siapa pun yang Tuhan ijinkan saya temui.”

Saya berusia 24 tahun ketika menulis ini sekarang. Saya mulai menulis pukul setengah dua, sekarang sudah pukul tiga lebih namun otak saya terus memikirkan begitu banyak mengenai pelayanan ini. LoveFirst. Saya tahu saya tidak akan bisa tidur jika tidak menuangkan semua apa yang saya pikirkan pada tulisan.

Inilah yang saya pikirkan…
LoveFirst akan berusaha menjalin kerjasama dengan gereja-gereja—khususnya dalam hal penanganan kasus khusus yang dirasa sulit oleh gereja. Pelayanan yang perlu dikerjakan cepat bagi orang yang membutuhkan, misalnya. Daripada mati menunggu birokrasi dalam gereja; ijinkan LoveFirst menanganinya sebagai mitra gereja. Dengan demikian LoveFirst juga perlu menunjukkan itikad baik untuk tidak menarik anggota gereja apa pun lebih memihak kepada LoveFirst. LoveFirst hanya akan mengadakan sebuah persekutuan doa setiap minggunya untuk berdoa bagi pelayanan LoveFirst—juga berdoa bagi mereka yang sedang dalam penanganan LoveFirst.

LoveFirst akan bergerak sebagai persekutuan, bukan menjadi pengganti gereja. Akan dibutuhkan pendirian yayasan resmi sebagai badan hukum yang sah untuk mengerjakan pelayanan ini. Statusnya mungkin dapat berupa pelayanan sosial.

LoveFirst akan menggelar kampanye “LoveFirst” ke gereja-gereja untuk menjelaskan mengenai pentingnya melakukan kasih daripada sekadar memahami dan menikmati kasih.

Untuk mendapatkan dukungan dan support dari orang banyak, perlu dibuat adanya sebuah blue-print yang compact namun detil mengenai alasan mengapa pelayanan ini penting untuk segera dimulai. Buatlah semacam “proposal” atau pamflet untuk memperkenalkan pelayanan ini kepada orang banyak.

Tulislah sebuah buku dengan judul yang sama, “LoveFirst,” sebagai pemotivasi dan bahan refleksi bagi gereja-gereja Tuhan di Indonesia. Mungkin dapat juga membuat sebuah seri buku “LoveFirst” untuk diaplikasikan dalam aspek hidup yang berbeda (selain kehidupan pelayanan gereja), misalnya, dalam konteks relasi orangtua-anak, suami-istri, kekasih yang akan menikah, dll.

Dengan blue-print yang ada mulailah untuk mencari dukungan dari berbagai pihak untuk memulai pelayanan ini. Pada prinsipnya, semua orang dapat memberikan apapun yang dapat diberikan untuk mendukung pelayanan ini. Mereka yang memiliki usaha musik dan sound-system dapat mempersembahkan pemakaian alatnya untuk pertemuan di gedung. Mereka yang memiliki ruko/rumah lebih dapat meminjamkannya kepada LoveFirst untuk digunakan sebagai LoveFirst Ministry Centre. Dapat memberikan persembahan dana, tenaga, waktu, jam doa, dsb.

LoveFirst dapat juga dikembangkan sebagai jaringan ke kota-kota lain.

Iklankan di media massa Kristen untuk merekrut anak-anak Tuhan yang mau mendukung pelayanan ini—tanpa tunjangan tetap, bersedia berlelah demi pelayanan Tuhan, bersedia menerima kesalahpahaman dari orang lain, berani berhadapan dengan resiko kelaparan demi Tuhan. Iklankan!!

[1/2]

Friday, June 27, 2008

Maka Menangislah Yesus

Seorang jemaat yang sudah lanjut usia baru meninggal pagi ini. Setelah berjuang sekian lama menahan sakit akibat nafasnya yang sesak akibat asma akut, sekitar pkl. 01.25 tadi Ia akhirnya berangkat pulang ke pangkuan Bapa. Dan satu lagi kehidupan yang baru berawal dalam kekekalan.
Bagi keluarga yang mengasihinya, ini sebuah kehilangan yang menyedihkan. Seorang mama dan nenek yang dikasihi seakan direbut dari genggaman. Tentu saja, ada banyak air mata yang tertumpah di sana.
Tidakkah Tuhan peduli akan air mata kesedihan seperti ini?
Tidakkah Tuhan merasakan apa yang kita rasakan dalam kehilangan yang menyesakkan?
Ya, Tuhan peduli. Ia sangat peduli. Bahkan, Ia menangis bersama dengan kita.
Injil Yohanes 11:35 menuliskan frasa ini dalam satu ayat khusus, "Maka menangislah Yesus." Tuhan Yesus menangis ketika menemukan Lazarus, seorang pemuda yang dikasihiNya, meninggal dunia. Ia merasakan suasana kehilangan yang serupa di antara Maria dan Marta. Tuhan bukan sekadar mengerti dengan perkataanNya, namun Ia sungguh hidup dengan air mata yang sama dengan kita.
Yesus yang menangis merupakan betapa dalam, besar, lebar dan panjangnya kasihNya bagi dunia ini. Ia memilih untuk dapat merasakan semua emosi yang kita miliki. Ia memilih mampu merasakan kesedihan seperti yang dirasakanNya hari itu. Dengan cara inilah, kita pun jelas dapat mengetahui bahwa ketika Allah berkata Ia mengerti akan kesulitan, kepedihan, pergumulan dan air mata kita, Ia sungguh-sungguh mengerti.
Saya bertanya-tanya dalam hati, adakah Tuhan "yang lain" dapat mengatakan hal yang sama dengan yang Kristus katakan tentang pengertian mereka akan kesulitan dan pergumulan dalam hidup? Saya kira, tidak ada. Hanya Tuhan Yesus satu-satunya yang demikian mengerti karena Ia mengalami sendiri kemanusiaan kita.
"Maka menangislah Yesus..."
Sungguh kita tidak pernah menangis sendirian. Ia menangis bersama dengan kita. Dan Ia memberikan penguatan dan penghiburan terbaikNya bagi kita.
Sementara banyak orang mungkin berkata kita tidak boleh menangis walaupun lagi susah hati; Yesus berkata, "Menangislah... Aku mengerti. Dan Aku akan memastikan bahwa engkau akan baik-baik saja."

A Journey Starts Here

Hi everyone!

Blog ini merupakan semacam langkah awal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya dalam dunia tulis menulis _^. Sudah sejak lama saya senang menuangkan banyak pikiran dan inspirasi dalam berbagai media--dari sekadar coretan di kertas buram yang ditemukan seadanya ketika inspirasi muncul, sampai feature Notes di handphone yang saat ini lagi kepenuhan.

Ini seperti sebuah perjalanan terobosan yang baru yang ingin saya lakukan sejak lama, menulis.

Biarlah sungguh ini bisa menjadi wadah yang baru buat saya menuangkan segala pemikiran dengan tidak tersia-sia--mengingat betapa banyaknya coretan di kertas buram yang hilang entah kemana selama ini.

So, I really wish a journey will starts here for my writing experience.
Pray for me, will you?